Selangkah Lebih Cepat dari Microsoft, China Luncurkan Data Center Bawah Laut Komersial

China kembali membuat gebrakan besar dalam industri teknologi global. Setelah beberapa tahun lalu Microsoft memperkenalkan konsep pusat data bawah laut melalui proyek eksperimental, kini China melangkah lebih jauh dengan mengkomersialkan data center bawah laut pertama di dunia. Langkah ini menandai perubahan penting dalam cara negara tersebut mengelola infrastruktur digital sekaligus menunjukkan ambisi kuat untuk memimpin kompetisi global di bidang komputasi hijau, efisiensi energi, dan teknologi berbasis laut.

Dari Eksperimen ke Realisasi Komersial

Konsep data center bawah laut sebenarnya bukan hal baru sepenuhnya. Microsoft pernah melakukan uji coba dengan menenggelamkan modul data ke dasar laut untuk melihat bagaimana server dapat bertahan dalam kondisi ekstrem. Percobaan tersebut menunjukkan bahwa server dapat beroperasi secara stabil dan memiliki tingkat kerusakan lebih rendah dibanding server yang berada di daratan karena lingkungan yang tertutup dan tidak terpapar perubahan cuaca.

Namun, proyek tersebut berhenti pada tahap penelitian. Microsoft tidak melanjutkan ke tahap operasional komersial. Di titik inilah China mengambil alih panggung. Perusahaan teknologi Tiongkok yang berfokus pada infrastruktur laut mulai membangun modul pusat data skala besar yang dirancang untuk digunakan konsumen—baik perusahaan telekomunikasi, penyedia layanan cloud, maupun perusahaan komputasi AI.

Modul-modul ini tidak lagi sekadar prototipe. Mereka telah dipasang di laut lepas, terhubung ke jaringan listrik dan internet, dan siap digunakan untuk menangani beban komputasi masif.

Teknologi dan Keunggulan Pendinginan Alami Laut

Alasan utama menempatkan pusat data di bawah laut adalah efisiensi pendinginan. Data center konvensional di darat menghabiskan sebagian besar energinya hanya untuk mendinginkan server. Temperatur server yang tinggi dapat memicu kerusakan, sehingga dibutuhkan energi besar untuk menjaga suhu tetap stabil.

Dengan menempatkan modul di bawah laut, China memanfaatkan suhu alami air yang dingin sebagai pendingin pasif. Hasilnya adalah konsumsi energi yang jauh lebih kecil, sekaligus menurunkan biaya operasional secara signifikan.

Jika pusat data konvensional memiliki nilai keefisienan PUE (Power Usage Effectiveness) sekitar 1,3 hingga 1,6, pusat data bawah laut China diklaim bisa mencapai angka mendekati 1,1. Angka ini berarti hampir semua energi yang digunakan masuk ke proses komputasi, bukan untuk pendinginan.

Selain itu, modul dirancang kedap udara, bebas debu, tahan korosi, dan memiliki tingkat kelembapan yang stabil. Hal ini mengurangi risiko kerusakan perangkat keras dan memperpanjang umur server.

Skala Ambisius: Puluhan Hingga Ratusan Modul di Masa Depan

Data center bawah laut China yang pertama hanya permulaan. Pemerintah daerah serta sejumlah perusahaan teknologi besar menargetkan pembangunan puluhan hingga ratusan modul dalam beberapa tahun ke depan. Setiap modul memiliki ukuran raksasa dengan bobot lebih dari seribu ton dan mampu menampung rak server dalam jumlah besar.

Jika seluruh proyek jangka panjang terealisasi, kapasitas komputasi yang diletakkan di bawah permukaan laut dapat menyamai data center raksasa di daratan yang selama ini menjadi tulang punggung layanan cloud dan kecerdasan buatan.

Pemerintah daerah di beberapa provinsi pesisir dilaporkan tertarik karena data center bawah laut tidak menghabiskan lahan daratan dan dapat dipadukan dengan ekosistem energi terbarukan seperti turbin angin lepas pantai.

Energi Terbarukan Jadi Pendukung Utama

Salah satu visi besar China dalam komersialisasi data center bawah laut adalah mengintegrasikannya dengan energi hijau. Dengan demikian, pusat data ini bukan hanya efisien dalam pendinginan, namun juga lebih ramah lingkungan.

Beberapa lokasi pengembangan telah dirancang agar dapat memanfaatkan listrik yang dihasilkan oleh ladang angin lepas pantai. Kombinasi antara pendinginan alami laut dan suplai listrik terbarukan membantu memperkecil jejak karbon secara drastis, sesuatu yang semakin dicari oleh perusahaan global yang ingin mengurangi dampak lingkungan dari operasional digital mereka.

Kebutuhan Pasar yang Meningkat Seiring Ledakan AI

China mengembangkan data center bawah laut bukan hanya untuk prestige teknologi. Lonjakan permintaan komputasi akibat tren AI generatif, cloud computing, dan layanan digital menuntut inovasi infrastruktur yang jauh lebih hemat energi dan dapat dibangun dalam waktu singkat.

Modul bawah laut dapat diproduksi di darat, diuji secara penuh, lalu diturunkan ke lokasi yang telah ditentukan tanpa perlu pembebasan lahan besar seperti data center darat. Model pembangunan modular ini mempercepat penyediaan kapasitas komputasi hingga puluhan kali lipat, sesuatu yang sangat dibutuhkan di era percepatan AI.

Tantangan dan Kekhawatiran

Meski prospektif, data center bawah laut tidak tanpa tantangan:

• Pemeliharaan sulit karena modul berada puluhan meter di bawah permukaan.

• Risiko dampak ekologis terhadap laut harus dikelola dengan penelitian ekosistem yang ketat.

• Biaya awal tinggi, karena konstruksi modul khusus dan instalasi bawah laut membutuhkan peralatan berat serta teknologi penyegelan canggih.

• Ketergantungan pada jaringan kelistrikan dan konektivitas laut, yang jika terganggu dapat mempengaruhi layanan secara luas.

Namun sejauh ini, para insinyur China menilai bahwa manfaat jangka panjang jauh lebih besar dibanding hambatannya.

China di Depan Kompetisi Global

Dengan mengkomersialkan pusat data bawah laut pertama, China berada selangkah di depan dalam inovasi infrastruktur digital masa depan. Langkah ini dapat mengubah arah industri pusat data global dan membuka era baru di mana komputasi intensif tidak lagi hanya bergantung pada bangunan raksasa di daratan.

Jika proyek ini berhasil berkembang, dunia mungkin akan melihat tren serupa bermunculan di berbagai negara—namun China telah menjadi yang pertama mengubah eksperimen menjadi kenyataan komersial.

 

 

Exit mobile version